Para Pengancam Koloni Lebah

Fenomena Colony Collapse Disorder( CCD), secara masif mulai dilaporkan oleh pakar serta peternak lebah pada dekat tahun 2006. Keruntuhan koloni lebah ini merebak di nyaris segala populasi lebah madu di dunia.

Telah mempunyai predator serta patogen natural, populasi lebah di sebagian negeri masih hadapi CCD. Fenomena CCD pada koloni lebah biasanya mempunyai indikasi berbentuk hilangnya populasi koloni cuma pada waktu pendek, tanpa ada jejak berbentuk bangkai lebah ataupun patogen serta pestisida di koloni yang sudah ditinggalkan.

World Economic Forum memperhitungkan pengaruh serangga polinator terhadap ekonomi diperkirakan menggapai 235- 577 miliyar dolar AS.

“ Jika sepengetahuan aku ini besar sekali gitu loh( red- pengaruh terhadap ekosistem). Sepertiga dari santapan yang dihasilkan dari tanaman, polinatornya itu sang lebah. Jadi satu koloni itu dapat hingga jika ga salah 3 juta polinasi dalam satu hari, sebaliknya satu orang manusia itu hanya dapat 30 polinasi tumbuhan per hari,” ucap Elfediyah Dinansari, mahasiswi Kelompok Riset Entomologi Fakultas Hayati UGM siklus hidup lebah .

Ada paling tidak 4 klasifikasi musuh utama populasi lebah madu, ialah insektisida berbentuk Imidacloprid serta Clothianidin, insektisida tipe Neonicotinoid selaku insektisida dengan pemakaian sangat luas. Kemudian ada fungi semacam Nosema sp serta Deformed Wing Virus( DWV), area, serta mikroorganisme paling utama tungau Varroa serta kuman Foulbrood.

Lain halnya dengan Indonesia. Tipe tumbuhan di Indonesia yang tidak sangat mengandalkan lebah disebabkan komposisi polinator bermacam- macam( Damayati Buchori et angkatan laut(AL)., 2019). Walaupun begitu, lebah senantiasa jadi polinator yang sangat dapat diandalkan disebabkan anatomi mereka secara efisien bawa serbuk sari ke putik bunga.

Kedudukan Insektisida

Pada dekat tahun 1990- an, petani di segala dunia diberikan berita baik hendak datangnya insektisida yang efisien serta tidak mempunyai akibat mematikan terhadap lebah ataupun serangga, ialah neonicotinoid. Tadinya, petani memakai bahan kimia berbentuk minyak tanah, belerang, arsen, tembaga sampai air tuba yang digunakan warga Jawa.

Insektisida muncul dari kebutuhan agrikultur manusia dalam wujud pertanian monokultur, berdampak tidak hanya lebah memperoleh santapan yang terkontaminasi, konsumsi gizi lebah juga kurang bermacam- macam.

Ada riset menimpa lebah selaku polinator di zona yang ditanami padi oleh Annika Louise H. dkk. pada 2018 serta teruji kalau minimnya keberagaman sumber santapan turut pengaruhi keragaman tipe polinator academia.co.id .

Toksin serangga neonicotinoid bekerja dengan mengusik saraf makhluk hidup, akibat yang diterima lebah madu berbentuk hilangnya keahlian lebah buat kembali ke sarang mereka, semacam yang ditemui( Collin Monchanin dkk, 2019).

Tidak hanya itu, riset Harvard pada tahun 2014 yang ditulis oleh Chenseng Lu dkk., turut mengatakan bila 6 dari 2 belas koloni yang dirawat memakai neonicotinoid menampilkan indikasi CCD berbentuk matinya lebah. Tetapi peristiwa tersebut bisa dikira selaku langkah lebah buat mengatur populasi koloni serta tidak meninggalkannya.

Sistem imun lebah yang terpapar neonicotinoid turut melemah, menyebabkan lebah rentan terkena penyakit serta melemahkan energi tahan koloni.

“ Nah jika sarafnya rusak itu mesti. Gampang terkena Varroa, telah lemah, di tunggangi Varroa lagi, diserap hemolymph- nya( darah lebah) lagi, Varroa- nya memiliki virus lagi, memiliki Nosema lagi,” ungkap Hari Purwanto, Dosen Fakultas Hayati UGM.

Untuk lebah, dapat dikatakan, neonicotinoid ialah gerbang masuk dari kasus CCD. Beruntung, Uni Eropa pada tahun 2013 mulai melarang pemakaian neonicotinoid yang ialah salah satu produk industri industri kimia, Bayer.

Tungau Varroa serta Virus

Alam berikan lebah sebagian mikroorganisme perusak koloni lebah, Ilmuwan banyak menciptakan kalau koloni terdampak CCD mengalami tungau Varroa, tungau yang awal kali ditemui pada tahun 1904 di jawa dengan spesies Varroa Jacobsoni.

Anehnya, bagi Hari Purwanto, Tungau Varroa bukan jadi pelakon peruntuh koloni lebah di Indonesia.

“ Tetapi jumlahnya sedikit sekali, sangat sedikit sekali, 0, 6 persen. Terus terdapat konferensi 93 di Jogja, aku sampaikan pada ahli di dunia, di Indonesia gak permasalahan, aku antara ditertawakan serta tidak dipercayai” jelasnya.

Dikala ini, Varroa sudah mempunyai 4 klasifikasi spesies, Varroa Destructor, Varroa Jacobsoni, Varroa Renderi, serta Varroa Underwood.

Varroa sudah tersebar di segala dunia kecuali Australia, disebabkan klasifikasi oleh para periset, sehingga menghindari parasit tersebut masuk, dan letak geografis Australia tidak menunjang hendak persebaran parasit tersebut. Pengklasifikasian Varroa menolong periset buat menguasai sikap parasit utama koloni lebah tersebut.

“ Denis Anderson serta David( David Trueman), kesimpulannya mempublikasi pada tahun 2000, yang kita tahu selaku Varroa Jacobsoni nyatanya terdapat 2, tetapi setelah itu terdapat satu tipe yang dapat berpindah ke( Apis) Mellifera, ialah Varroa yang semacam Jacobsoni, nah mereka namakan Varroa Destructor, yang buat mengganggu,” ungkap Hari Purwanto.

Bagi postingan Varroa Mite, Varroa Destructor Anderson and Trueman( Arachnida: Acari: Varroidae) ditulis James D. Elis dkk., yang merangkum hasil riset David Anderson, Varroa betina berusia bisa ditemui pada lebah madu berusia serta anakan. Sebaliknya anakan Varroa cuma bisa ditemui di sarang tertutup serta Varroa jantan tidak sempat keluar dari sarang lebah.

Betina Varroa berusia hadapi 2 fase dalam siklus hidup mereka, fase phoresis, fase dimana organisme melekat ke inang serta reproduksi. Sepanjang fase phoresis, betina hendak memakan lebah berusia serta ditularkan dari lebah ke lebah dikala lebah lalu- lalang di koloni.

sepanjang phoresis, Varroa betina hidup dengan lebah berusia, serta umumnya bisa ditemui di antara segmen perut lebah. Varroa menusuk jaringan lunak di antara segmen serta memakan lemak badan lebah.

Varroa tidak hanya berakibat langsung dengan jadi parasit, mempunyai kedudukan selaku vektor virus serta kuman yang biasanya berbentuk Deformed Wing Virus( DWV) yang membatasi perkembangan sayap lebah, serta fungi Nosema sp. selaku pemicu diare pada lebah.

Baca Juga : Ulasan Game Wartune

Pergantian Keadaan Ekosistem Lebah

Faktor- faktor CCD diatas diperburuk oleh hadirnya pergantian area koloni lebah. Lebah mempunyai semacam sistem buat melindungi keadaan koloni senantiasa sempurna. Bila sangat panas, sebagian lebah pekerja mengepakkan sayapnya di pintu masuk koloni.

Pada masa dingin, lebah kurangi populasi mereka buat mengirit cadangan santapan, dengan lebah pejantan selaku tipe yang awal kali dikurangi. Temperatur sempurna koloni lebah merupakan 15°C hingga 37°C.

Pemanasan global turut jadi terdakwa dalam usaha yang menunjang aspek CCD tersebut. Belum lagi polusi hawa serta suara, dan kebutuhan ekspansi ruang buat manusia, bertolak balik dengan kepribadian area sempurna untuk lebah.

Suparlin, Seseorang owner peternakan lebah asal Kaliurang, turut merasakan pergantian jumlah populasi lebah disebabkan pergantian area.

“ Penyusutan itu sebab alam, tumbuhan randu itu yang dahulu jawa tengah itu banyak, sebab kapuknya gak payu dijual, kesimpulannya do ditebangi, dari kehutanan yang melindungi peternak lebah itu menanam, itu awal itu areal makanannya. Kedua, areal tanamannya itu disemprot, nah pestisida tadi, jadi betul, populasi buat lebah itu sebab areal makanannya,” terangnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *